Minggu, 14 Oktober 2012

KONTEKS KAFIR




KAFIR

Oleh Saidiman Ahmad


Di ruang persidangan yang mendakwanya sebagai tersangka teroris, Abu Bakar Ba’syir lantang menyebut Presiden Susilo Bambang-Yudoyono kafir. Bagi Ba’asyir, negara dengan sistem pemerintahan yang tidak Islamis atau tidak menerapkan syariat Islam pastilah dipimpin oleh seorang kafir. Di Cirebon, Muhammad Syarif, melakukan aksi bom bunuh diri dengan target polisi. Alasan yang digunakan oleh Muhammad Syarif persis sama dengan argumen takfir (pengkafiran) yang dikemukakan Ba’asyir. Pemerintahan yang tidak mengadopsi syariat Islam adalah pemerintahan kafir dan seluruh aparatusnya adalah kafir. Yang menarik adalah Ba’asyir menyatakan bahwa Muhammad Syarif juga kafir karena meledakkan bom di dalam masjid pada saat jemaat salat jumat hendak menunaikan salat. Seandainya dia selamat dan masih hidup kemungkinan Muhammad Syarif juga bisa mengkafirkan Ba’asyir karena Ba’asyir tidak mendukung aksinya menyerang kaum kafir yang hendak melaksanakan salat itu.

Menurut sejumlah pengamat terorisme dan mantan aktivis teror, aksi terorisme yang menyasar kelompok Islam sendiri bukan hal yang terlalu mengejutkan. Doktrin takfiriyyah (pengkafiran) adalah salah satu fondasi teologis yang dianut para teroris. Cita-cita utama mereka adalah mendirikan negara Islam. Semua yang menghalangi pelaksanaan cita-cita itu adalah bagian dari kekufuran yang wajib diperangi. Umat Islam yang mendukung sistem di luar sistem Islam yang mereka yakini adalah para pendukung kekufuran dan oleh karenanya juga masuk dalam kategori kafir.

Tulisan ini ingin menunjukkan beberapa kekeliruan fundamental dari tradisi pengkafiran yang telah berbuah kekerasan tersebut. Pertama ada kekeliruan dalam penggunaan kata “kafir.” Menyatakan kafir untuk menunjuk seseorang berada di luar Islam sebenarnya menyalahi arti kafir itu sendiri. Kafir artinya adalah menutupi atau mengingkari, yang dimaksud adalah menutupi atau mengingkari nikmat dari Tuhan. Dalam bahasa Inggris ada kata infidel yang sering digunakan untuk menerjemahkan kata kafir, padahal terjemahan yang tepat adalah to cover (menutupi). Itulah sebabnya pada masa Nabi, umat Kristiani dan Yahudi hanya disebut ahl kitab (orang-orang yang memiliki kitab suci). Konsep infidel yang dipahami oleh orang-orang Barat sebenarnya tidak dikenal dalam doktrin tradisional Islam.

Kekeliruan definisi tampak pada implikasi lanjutan setelah seseorang atau kelompok dicap kafir, yakni kekerasan bahkan pembunuhan. Hal itu menunjukkan bahwa cap kafir digunakan untuk menyingkirkan seseorang atau kelompok dari suatu komunitas, yakni komunitas Islam. Kafir diartikan sama dengan orang yang berada di luar Islam, yang oleh karenanya adalah musuh. Dan itu adalah kekeliruan yang terus dipelihara oleh sekelompok orang Islam sendiri.

Kedua, Abu Bakar Ba’asyir, Muhammad Syarif dan kawan-kawanya acapkali secara sengaja mengabaikan prinsip utama bagaimana seorang bisa disebut Muslim. Prinsip-prinsip itu sesungguhanya sangat sederhana yang tertuang dalam apa yang disebut lima pilar Islam (arkaanul Islam/rukun-rukun Islam), yakni syahadat, salat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Sejauh seseorang melaksanakan lima prinsip dasar ini, ia adalah seorang Muslim. Tidak pernah ada satu doktrin Islam yang valid menyatakan bahwa salah satu rukun Islam adalah mendirikan negara Islam.

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, pernah menulis satu buku berjudul Faishal al-Tafrîqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Menurut Ulil Abshar-Abdalla, buku ini lahir dalam konteks di mana pengkafiran sedang melanda masyarakat Islam abad ke-11. Ada suasana kondusif di mana gagasan-gagasan baru muncul dan menjadi perdebatan, tapi pada saat yang sama muncul tradisi pengkafiran yang mengancam kesatuan ummat. Mungkin kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia sekarang ini, ada kebebasan berpendapat, tapi ruang kebebasan ini juga memunculkan tradisi pengkafiran yang mengancam persatuan dan kesatuan.

Al-Ghazali ingin menyatakan bahwa sangat tidak mudah menyatakan orang lain berada di luar Islam. Definisi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali adalah bahwa orang yang beriman adalah mereka yang percaya kepada Rasul dan semua yang diajarkannya. Sementara orang yang zindiq adalah mereka yang tidak percaya kepada Rasul dan semua yang diajarkannya.

Persoalannya adalah apa itu ajaran Rasul? Masing-masing orang memiliki penafsiran dan bisa sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Untuk menjawab persoalan ini, Al-Ghazali kemudian merumuskan apa yang disebut qãnūn al-ta’wîl (rambu-rambu penafsiran). Dalam rumusan ini Al-Ghazali mengemukakan lima tingkat eksistensi: wujūd al-zãti (eksistensi benda pada dirinya), wujūd al-khishshi (eksistensi citraan), wujud al-khayali (eksistensi yang ada pada angan-angan tentang sesuatu yang pernah dialami), wujūd al-aqli (eksistensi berdasarkan penalaran rasional), dan wujūd al-syibhi (eksistensi metaforis). Perbedaan tafsir muncul karena perbedaan titik berangkat dari si penafsir itu sendiri. Mereka yang berada pada level wujūd al-syibhi tentu akan berbeda tafsiran dengan yang berada di tingkat wujūd al-zãti. Dengan begitu, menurut Ulil dalam sebuah ceramah pengajian Ramadan, Al-Ghazali ingin meneguhkan bahwa kriteria kebenaran tidak bisa dipatok hanya pada satu perspektif. Perbedaan pandangan mengenai sebuah doktrin akan sangat bergantung pada cara pandang dia terhadap doktrin tersebut, apakah dia memahaminya secara denotatif atau metaforis.

Ketiga, kalau pengkafiran yang dilakukan oleh Ba’asyir dan kawan-kawannya ini bertujuan untuk mengagungkan Islam, maka sebenarnya yang mereka lakukan justru mengkerdilkan Islam. Islam yang sedemikian luas menjadi begitu terbatas hanya pada kelompok Ba’asyir.

Keempat, kekeliruan juga terjadi pada implikasi pengkafiran tersebut. Ketika seseorang dianggap kafir maka seolah-olah kekerasan dan bahkan pembunuhan menjadi halal dilakukan terhadapnya. Ini adalah kekeliruan yang sangat fatal karena tidak ada sandaran doktrin Islam yang mendukung kekerasan atau pembunuhan terhadap mereka yang berada di luar Islam. Kekeliruan semacam ini juga bisa merusak hubungan antar sesama manusia.

Ancaman kehancuran datang ketika semakin banyak orang yang menganggap bahwa perbedaan adalah alasan untuk saling meniadakan. Masih terlalu banyak hal lain yang bisa dimanfaatkan dari realitas perbedaan, ketimbang menggunakannya sebagai jembatan menuju kehancuran. Perbedaan adalah sarana yang paling baik untuk berkerjasama dan saling belajar. Tanpa kehadiran yang lain, apalah artinya diri kita?

Tidak ada komentar: